JARIMAH PENCURIAN
a. Pengertian
Pencurian adalah mengambil hak orang lain yang bukan miliknya secara
diam-diam tanpa paksaan dan tidak di ketahui oleh pemiliknya. Adapun
pengertian lain pencurian adalah mengambil harta orang lain secara
diam-diam yang di ambil berupa harta, harta yang di ambil merupakan
milik orang lain dan ada itikat tidak baik.
Sedangkan orang yang biasa melakukan pencurian adalah pencuri, Pencuri
adalah orang yang mengambil harta atau benda orang lain dengan jalan
diam – diam dan diambil dari tempat penyimpanannya.
Pencurian menurut Muhamad Syaltut adalah mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai
menjaga barang tersebut. Menurut beliau selanjutnya, definisi tersebut
secara jelas mengeluarkan perbuatan menggelapkan harta orang lain yang
dipercayakan kepadanya (ikhtilas) dari kategori pencurian. Oleh karena
itu, penggelapan harta orang lain tidak dianggap sebagai jarimah
pencurian dan tentu tidak dihukum dengan hukuman potong tangan, namun
dalam bentuk hukuman lain. Di samping itu, definisi di atas mengeluarkan
pengambilan harta orang lain dengan terang-terangan dan kategori
pencurian, seperti pencopetan yang mengambil barang secara
terang-terangan dan membawanya lari. Begitulah kesepakatan fuqaha.
H.A. Djazuli membedakan antara pencurian dengan penggelapan sebagai berikut:
Pertama, dilihat dari segi hukuman. Pencurian dikenai hukuman had potong
tangan, sedangkan penggelapan dikenai hukuman ta’zir dan hal ini tentu
menjadi wewenang hakim dalam penjatuhan hukuman tersebut.
Kedua, dilihat dengan dari segi pelaksanaan pengambilan harta tersebut.
Pada pencurian, pengambilan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan
tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sedangkan pada kasus penggelapan
dilakukan dengan terang-terangan. Dalam hal ini si pemilik mengira harta
tersebut masih ada dan dijaga oleh orang yang dipercayainya. Oleh
karena itu, kalau penjaganya, mengambilnya, dianggap telah berbuat
terang-terangan.
Ketiga, dilihat dari segi objek harta tersebut. Dalam pencurian, harta
yang diambil tersimpan pada tempat tertentu yang memeng sengaja disimpan
pemiliknya. Sedangkan penggelapan, penyimpanan harta tersebut tidak
diketahui pemiliknya dan hanya diketahui oleh yang dipercayai, sedangkan
pemilik hanya mengetahui bahwa harta itu ada. Oleh karena itu,
persyaratan tempat pada kasus penggelapan tidak disyaratkan.
Keempat, dilihat dari ukuran harta. Pada pencurian dikenal ukuran-ukuran
tertentu yang mengakibatkan jatuhnya hukuman had atau yang dikenal
dengan teram nishab. Adapun pada kasus penggelapan dikenal
ukuran-ukuran tertentu sejauh mana penggelapan tersebut harus dikenal
hukuman.
b. Unsur – unsur Pencurian
Adapun unsur-unsur pencurian mengacu pada definisi pencurian itu
sendiri. Dari definisi tersebut, dapat kita rinci unsur-unsur sebagai
berikut:
Pertama, pengambilan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti
telah disinggung, tidak termasuk jarimah pencurian kalau hal itu
dilakukan dengan sepengetahuan pemilikny.
Kedua, yang dicuri itu harus berupa harta kongkret sehingga barang yang
dicuri adalah barang yang bergerak, dipindah-pindahkan, tersimpan oleh
pemiliknya pada penyimpanan yang layak dan dianggap sebagai sesuatu yang
berharga. Tentu ada batasan (kadar) yang menyebabkan jatuhnya had.
Ketiga, harta yang dicuri adalah sesuatu yang berharga, setidaknya
menurut versi pemiliknya. Inilah yang menjadi dasar pertimbangan bukan
atas pandangan si pencuri. Karena menganggap berharga, pemilik barang
menyimpang ditempat tertentu, yang aman menurut anggapannya. Oleh karena
itu, mengambil atau memindahkan barang atau harta yang tidak mempunyai
tempat penyimpanan tertentu menjadi alasan kesubhatan bagi jarimah ini,
seperti mengambil barang yang ditemukan ditengah jalan,.
Keempat, harta diambil (dicuri) pada waktu pemindahan adalah harta orang
lain secara murni dan orang yang mengambilnya tidak mempunyai hak
pemilikan sedikit pun terhadap harta tersebut. Umpamanya, harta kelompok
atau harta bersama orang yang mencurinya mempunyai hak atau bagian dari
harta tersebut. Oleh karena itu, kalau dia mengambil sebagian- walaupun
dinilai melewati nishab- tidak dianggap sebagai jarimah pencurian sebab
hak dia yang melekat pada barang yang diambil menjadikan kesyubhatan.
Namun, hal ini pun bukan berarti dia tidak dihukum sekalipun tidak
dikenai hukuman had potong tangan. Dimaksud dengan orang lain, juga
apabila harta itu milik anaknya atau milik bapaknya.
Kelima, seperti pada jarimah-jarimah lain, terdapatnya unsur kesengajaan
untuk memiliki barang tersebut atau ada itikad jahat pelakunya. Oleh
karena itu, seandainya barang atau harta itu terbawa tanpa disengaja,
sekalipun dalam jumlah besar dan mencapai nishb, tidak dianggap sebagai
jarimah pencurian, paling-paling dianggap sebagai kelalaian dan
hukumannya hanya peringatan sebagai kehati-hatian.
c. Sanksi Hukuman
Hukuman mencuri dikenakan pada kejahatan pencurian, apabila perbuatan
tersebut dilakukan menurut syarat-syarat yang telah disebutkan diatas,
yaitu syarat-syarat yang terdapat pada diri si pencuri, barang yang
dicuri dan perbuatan mencuri itu sendiri, maka fuqaha telah sependapat
bahwa hukuman yang telah dikenakan padanya adalah potong tangan, karena
perbuatan tersebut merupakan tindakan kejahatan. Dalam hubungan ini
Allah berfirman dalam Al-qura’an surat Al-Maid’ah. ayat 38:
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(Al-Ma’idah :38).
Ayat ini bahwa mengisyaratkan bahwa hukum potong tangan tidak dapat
diganti dengan hukuman lain yang lebih ringan, begitu pula hukuman
tersebut tidak boleh ditunda. Dipihak lain fukaha berselisih pendapat
tentang penggabungan dalam penggantian harta dengan hukuman potong
tangan.
d. Kadar dan Batasan Pencurian
Mengenai hukuman yang menyebabkan dijatuhkannya hukum potong, terjadi
perbedaan diantara ulama. Hal tersebut disebabkan keumuman ayat 83 surat
Al-Ma’idah. Diantara ulama, ada yang meniadakan nishab
pencurian,artinya sedikit apalagi banyak, sama-sama dihukum potong
tangan. Adapun jumhur fuqaha mensyaratkan adanya nishb (bantas tertentu)
sehingga seorang pencuri dapat dikenai hukuman potong tangan. Namun,
ini pun terdapat perbedaan tentang batasan atau nishab tersebut Imam
Syafi’I dan Maliki mengatakan seperempat dinar, sedangkan Imam Abu
Hanifah mengatakan sepuluh dirham atau satu dinar, bersabda Nabi
Muhamad:
“Tidaklah dipotong tangan pencuri, kecuali pada satu dinar atau sepuluh dirham.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Di samping itu, ada yang mengatakan (seperti Ibnu Rusyid) batasan
tersebut adalah empat dinar, seperti hadits yang dikeluarkan Imam
Bukhari dan Muslim, melalui perawi Aisyah:
“Janganlah dipotong tangan pencuri, kecuali pada empat dianar atau lebih.” (H.R.Bukhari dan Muslim).
e. Dasar hukum
Jarimah tentang pencurian diatur dalam QS Al-Maidah: 38 yang mengajarkan
”Pencuri laki-laki dan perempuan hendaklah kamu potong tangan mereka
sebagai balasan atas perbuatan mereka dan merupakan hukuman pengajaran
dari Allah Yang Mahakuasa dan bijaksana.” Dan hadis Nabi pun mengajarkan
bahwa “Batas pemotongan tangan adalah pada pergelangan tangan dan pada
tangan kanan.”
Hukuman
Mengenai hukuman pencurian para ulama berbeda pendapat.
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa “Pada pencurian
pertama yang di potong adalah tangan kanan, pada pencurian yang kedua
kaki kiri, yang ketiga tangan kiri dan pada pencurian yang keempat kaki
kanan.jika pencuri masih melakukan pencurian maka yang kelima kalinya di
hukum penjara sampai ia bertaubat”
Adapun menurut pendapat “Atha, pencurian yang pertama di potong tangannya. Yang kedua di beri hukuman ta’zir.
Menurut Zhahiri bawa pada pencurian pertama di potong tangan kananya.
Pada pencurian kedua di potong tangan kirinya dan pada pencurian ketiga
dikenakan hukuman ta’zir.
Menurut Imam Abu Hanifa, pada pencurian pertama di potong tangannya
kanannya,pencurian kedua di potong kaki kirinya dan yang ketiga di
penjara sampai tobat.
Syarat hukuman potong tangan atas adalah :
1. Pencurinya telah baligh, berakal sehat dan ikhtiyar.
Dengan demikian anak-anak dibawah umur yang melakukan pencurian tidak
memenuhi syarat hukuman potong tangan, tetapi walinya dapat dituntut
untuk mengganti harga harta yang dicuri anak tersebut. Dibawah
perwaliannya si-anak dapat diberi pelajaran seperlunya. Orang gila yang
mencuri juga tidak dapat dijatuhi hukuman potong tangan demikian juga
orang dewasa sehat akal yang melakukan pencurian atas dasar desakan
ataupun daya paksa tidak dapat dijatuhi hukuman potong tangan.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah tidak melaksanakan hukuman potong
tangan terhadap pencuri unta pada saat terjadi wabah kelaparan
(paceklik) karena dirasakan adanya unsur keterpaksaan disana. Pencuri
yang demikian itu jika akan dijatuhi hukuman hanya dapat berupa hukuman
ta’zir, atau dapat dibebaskan sama sekali, bergantung pada pertimbangan
hakim. Dapat ditambahkan bahwa keadaan memaksa ini dapat terjadi juga
dalam masyarakat yang keadaan sosialnya belum terlaksana dengan baik.
misalnya, dalam masyarakat yang jurang pemisah antara dua golongan itu
amat dalam. Di satu pihak terdapat orang kaya yang membelanjakan
hartanya dengan cara bermewah-mewah. Dilain pihak terdapat kaum miskin
yang untuk memperoleh pekerjaan saja amatlah susah.
2. Pencuri benar-benar mengambil harta orang yang tidak ada syubhat milik bagi orang tersebut.
Dengan demikian, jika seorang anggota suatu perseroan dagang mencuri
harta milik perseorannya, ia tidak dijatuhi hukuman potong tangan karena
ia adalah orang yang ikut memiliki harta perseroan yang dicurinya.
Tetapi tidak berarti si-pencuri tersebut bebas dari ancaman pidana sama
sekali. Karena si-pencuri tersebut terkena pidana ta’zir.
3. Pencuri mengambil harta dari tempat simpanan yang semestinya, sesuai dengan harta yang dicuri.
Dengan demikian, orang yang mencuri buah dipohon yang tidak dipagar
tidak memenuhi syarat hukuman potong tangan. Orang yang mencuri sepeda
di halaman rumah pada malam hari juga tidak dapat dijatuhi hukuman
potong tangan. Tapi si-pencuri tersebut terkena pidana ta’zir
Lain halnya bila ada pencuri sapi dikandang diluar rumah memenuhi syarat
dijatuhi hukuman potong tangan. Sebab sapi memang tidak pernah
dikandangkan didalam rumah.
4. Harta yang dicuri memenuhi nisab.
Nisab harta curian yang dapat mengakibatkan hukuman potong tangan ialah
seperempaat dinar (seharga emas 1,62 gram). dengan demikian, pencurian
harta yang tidak mencapai nisab hanya dapat dijatuhi hukuman ta’zir.
Nisab harta curian itu dapat dipikirkan kembali, disesuaikan dengan
keadaan ekonomi suatu waktu dan tempat. Keadaan ekonomi pada masa Nabi,
harta seharga seperempat dinar itu sudah cukup besar. Meskipun dapat
pula dipahamkan bahwa kecenderunan untuk menetapkan nisab harta curian
dalam jumlah amat kecil itu dimaksudkan untuk menghilangkan kejahatan
pencurian yang amat merugikan ketenteraman masyarakat. karena jangan
sampai hak milik seseorang tidak dilindungi keselamatannya.
B. Jarimah Hirobah
a. Pengertian
Menurut Imam Syafi’i, hirabah adalah keluar untuk mengambil harta, atau
membunuh atau menakut-nakuti dengan cara kekerasan dengan berpegang
kepada kekuatan dan jauh dari pertolongan atau bantuan. Sedangkan
menurut ulama Hanafiah hirobah adalah keluar untuk mengambil harta
dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat
di jalan, atau mengambil jalan, atau membunuh orang.
Perbedaan yang mendasar antara pencurian dan pembegalan/perampokan
terletak pada cara pengambilan harta, yakni dalam pencurian secara
diam-diam sedangkan dalam perampokan secara terang-terangan dan
kekerasan.
Teknis operasional perampokan ada beberapa kemungkinan, yaitu :
1. Seorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara
terang-terangan dan mengadakan intimidasi, namun ia tidak jadi mengambil
harta dan tidak membunuh.
2. Seorang berangkat dengan niat untuk mengambil harta dengan
terang-terangan dan kemudian mengambil harta termaksud tapi tidak
membunuh.
3. Seorang berangkat dengan niat merampok, kemudian membunuh tapi tidak mengambil harta korban.
4. Seorang berangkat untuk merampok lalu ia mengambil harta dan membunuh pemiliknya.
Keempat kemungkinan diatas semuanya termasuk perampokan selama yang
bersangkutan berniat untuk mengambil harta dengan terang-terangan.
Dasar hukum hirobah adalah firman Allah SWT :
إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا أن يقتلوا أو يصلبوا
أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي في
الدنيا ولهم في الأخرة عذاب عظيم ( المائدة : 33)
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya membuat keruksakan di muka bumi, hanyalah mereka di bunuh atau
disalin, atau dipotong tangan dan kaki merekasecara bersilang atau di
buang dari negeri (kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu
penghinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat yang besar”. (QS
al-Maidah : 33)
Atas dasar ini para ulama mensyaratkan pada seorang perampok harus
mempunyai kekuatan fisik untuk memaksa. Apabila perampok terdiri dari
segerombolan manusia, maka seluruh mereka dianggap sebagai perampok
selama masing-masing melaksanakan perbuatan langsung atau sebab. Adapun
syarat harta yang diambil dalam perampokan sama dengan syarat harta
yang diambil dalam pencurian.
b. Unsur-Unsur Hirobah
Dari definisi yang dikemukakan sebelumnya dapat diketahui bahwa unsur-unsur hirobah sebagai berikut :
1. Pengambilannya secara terang-terangan.
2. Barang yang diambil berupa harta.
3. Harta tersebut milik orang lain.
4. Pengambilannya dilakukan dengan cara kekerasan atau dengan membunuh korbannya.
5. Bisa dilakukan di rumah seseorang, tempat keramaian atau mencegat orang yang sedang lewat di jalan.
c. Pembuktian Perampokan
Pembuktian perampokan bisa dengan saksi, yaitu dua orang saksi laki-laki dan bisa juga dengan pengakuan.
d. Sanksi Hirobah
Sanksi bagi pelaku jarimah hirobah di sesuaikan dengan teknis
oprasionalnya sebagiamana diterangkan di atas terbagi menjadi empat :
1. seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara
terang-terangan dan memaksa, namun ia tidak jadi mengambil harta dan
tidak membunuh. Dalam hal ini pelaku hanya menakut-nakuti korban, dan
hukumannya pengasingan (an nafyu)
2. mengambil harta tanpa membunuh. Dalam hal ini menurut Imam Abu
Hanifah, Syafii, Imam Ahmad hukumannya adalah potong tangan dan kaki
dengan bersilang, yaitu dipotong tangan kanan dan kaki kirirnya. Mereka
beralasan dengan firman Allah surat al maidah 33.
3. Membunuh tanpa mengambil harta. Menurut Abu Hanifah, Imam Syafii, dan
satu riwayat dari Imam Ahmad hukumannya adalah dibunuh (hukuman mati)
sebagai hukuman had tanpa disalib. Sementara menurut riwayat yang lain
dari imam ahmad dan salah satu pendapat syiah zaidiah disamping hukuman
mati, pelaku juga disalib.
4. Membunuh dan mengambil harta dalam hal ini menurut imam Syafii, Imam
Ahmad, Syiah Zaidiah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad dari kelompok
hanafiah, hukumannya adalah dibunuh (hukuman mati) dan disalib tanpa
dipotong tangan dan kaki.
e. Hapusnya Hukuman
Hukuman perampokan dapat dihapus karena sebab-sebab sama seperti kasus
pencurian dan karena tobat sebelum ditangkap. Diantara yang dapat
menghapus eksekusi itu adalah:
1. Terbukti bahwa dua orang saksi itu dusta
2. Pencuri menarik kembali pengakuannya
3. Mengembalikan harta yang dicuri sebelum kepengadilan
4. Dimilikinya harta yang dicuri itu dengan sah oleh pencuri sebelum diajukan ke pengadilan.
Pendapat di atas semua menurut Imam Abu Hanifah, sedangkan menurut Imam
Malik, mengembalikan harta yang dicuri itu tidak menyebabkan hapusnya
eksekusi. sebab ancaman had itu terwujud ketika terjadinya pengembalian
harta.
Dalam hal pengembalian harta pencurian sebelum disidangkan dan
terbuktinya hak milik sah bagi pencuri atas harta sebelumnya ada
keputusan hakim, perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Konsep syubhat yang
berdasarkan hadits :
ادرؤوا الحدود بالشبهات (رواه البيهقي)
“Hindarkanlah had, bila ada syubhat” ( HR al-Baihaqi )
Artinya, alternatif hukuman adalah hukum ta’zir.
Dasar hukumnya adalah fiman Allah SWT :
إلا الذين تابوا من قبل أن تقدروا عليهم فاعلموا أن الله غفور رحيم (المائدة : 34)
“Kecuali orang-orang yang bertobat (diantara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka, maka ketahuilah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (Qs al-Maidah:34).
Akan tetapi, hukuman yang dapat hapus adalah hukuman yang berkaitan
dengan hirobahnya, bukan hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran atas
hak hamba, seperti pembunuhan dan pengambilan harta.
Bila perampoknya tobat setelah di tangkap, maka tobatnya tidak dapat
menghapuskan hukuman yang berkaitan dengan hak Allah maupun yamg
berkaitan dengan hak hamba. Hal ini disebabkan karena:
a. Tobat sebelum ditangkap itu adalah tobat yang ikhlas, yakni muncul
dari hati nurani untuk menjadi orang yang benar. Sedangkan tobat setelah
ditangkap pada umumnya takut terhadap ancaman hukuman yang akan
dikenakan padanya.
b. Tobat sebelum ditangkap muncul karena kecendrungan perampok itu untuk
meninggalkan perbuatan yang membawa kerusakan dimuka bumi, sedangkan
tobat setelah ditangkap prinsip kecendrungan ini tidak tampak karena tak
ada kesempatan lagi baginya untuk mengubah atau melestarikan tingkah
laku jahatnya.
Perampok dianggap telah bertobat bilamana ia datang kepada imam dengan segala keihklasan dan keta;atan sebelum ditangkap.
Apabila selain merampok ia juga minum khamar dan atau mencuri, maka
hukuman kedua tindak pidana yang terakhir ini tak dapat hapus karena
tobatnya , demikian juga menurut imam Malik ia beralasan bahwa ayat-ayat
yang mengancam pezinah dan pencuri itu bersifat umum, yakni baik
bertobat atau tidak, dan juga berdasarkan kasus Ma’iz dan Ghamidiyyah
yang datang kepada Nabi tapi dijatuhi hukuman. Sehubungan dengan itu
Rasulullah Saw bersabda :
لقد تاب توبة لو قسمت على سبعين من أهل المدينة لوسعتهم
“Ia telah bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya dan seaandainya
tobatnya itu dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk madinah,
niscaya seluruh penduduk madinah itu akan mendapatkannya”. (H.R Muslim
dari Imran bin Husein).
Hukuman yang diterapkan diindonesia dalam hal tobat ini, selain tindak
pidana perampokan, mirip dengan pendapat Imam Malik dan pendapat yang
rajih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar